Untukmu Palestina

Gaza yang gelap mencekam, Gaza yang merana
Nyawa seakan hanya bilangan angka – angka
Rintihan kesakitan itulah irama yang ada
Debu meriam mengepul menjadi panorama

Lontaran – lontaran mortir seakan menari di langit Gaza
Namun bukan tepuk tangan yang diraih olehnya
Melainkan isak tangis yang melangit di angkasa
Dan tubuh – tubuh lemah yang merintih dan meronta

Gaza yang luluh lantak
Tidak hanya oleh ledakan senjata
Tidak juga hanya oleh api membara
Dia luluh lantak oleh serakah manusia

Adakah nurani yang tersisa di sana?
Adakah yang mampu bangkitkan rasa?
Tidakkah nurani itu menghentak jiwa?
Tidakkah rasa itu menghantam di dada?

Siapa menjadi musuh siapa?
Bukankah perang adalah musuh setiap kehidupan yang ada?
Siapa menjadi kawan siapa?
Bukankah kedamaian adalah kawan setiap insan manusia?

Hai manusia, tengadahkan wajah ke angkasa
Tatap cipta dari Yang Maha Kuasa
Hidup adalah pemberian dari Nya
Sejatinya manusia adalah memuliakan pemberian Nya

Berkawan dengan kebencian adalah sia – sia
Tinggalkanlah kebencian itu jauh dari jiwa
Dekapan kemarahan menghanguskan pikiran
Lepaskanlah kemarahan itu sebelum hilang segalanya

Senyuman kedamaian tidak lagi sekedar harapan
Matahari kehidupan di Gaza akan kembali bersinar
Dan mawar putih kemanusiaan akan mekar mempesona
Berjuanglah untuk itu dan untuk kedamaian di Palestina

Perasaan Versus Logika

Aku dapat pergi

Aku dapat berlari

Aku dapat hindari

Bahkan aku dapat ingkari

Namun …..

Berapa lama itu harus kulakukan?

Apakah sampai akhir hayat?

Berapa sering itu harus kelakukan?

Apakah dalam setiap hembusan nafas saat ku terjaga?

Sanggupkah itu terus kulakukan?

Mungkinkah itu selalu dan selalu kulakukan?

Ini melelahkan sekali

Apakah aku harus jujur pada perasaanku?

Ataukah harus kubantah itu dengan logika?

Kutahu logika itu benar, namun apakah perasaan ini salah?

Kuharap perasaan ini salah

Kuingin logika ini benar 

Semoga yang benar akan menang

Dan tentu saja pemenangnya adalah logika

Tetapi ….. 

Sungguh mengherankan bagiku

Setiap perasaan ini mulai lemah dan menuju kekalahan, tiba-tiba dia bangkit melawan 

Perasaan merobek-robek logika

Dan perasaan melakukannya tanpa berbelas kasihan

Logika jadi lemah lagi

Logika butuh waktu untuk memulihkan diri lagi, agar dia mampu menantang perasaan lagi

Siapakah yang menang kali ini ataukah harus berakhir seri lagi?

Hahaha ….. Entahlah

Simple Game For Outbond

GAME OUTBOND

 
Tim work, keberanian, manajerial, kemandirian, cinta alam, kesabaran, dan lain sebagainya dapat diperoleh dari berbagai macam game-game outbond. Game outbond sebaiknya disiapkan secara matang dan juga memperhitungkan lokasi serta jumlah peserta. Game outbond idealnya dipimpin oleh satu orang fasilitator dan dibantu oleh asisten sebanyak jumlah kelompok yg ikut bermain.

Berikut beberapa game yang dapat digunakan :

1. Clip And Clep
Game ini dapat dimainkan pertama kali sebagai ice breaking (mencairkan suasana). Pada game ini para peserta berebut tempat (titik tertentu kalo meninggalkan titik tidak boleh kembali ketitik yang sama) secara melingkar ditengah terdapat titik sebagai penanya yang dapat bertanya dengan sembarang pertanyaan, misalnya “Siapa yang pernah naik mobil? (karena semua pernah naik mobil maka semua ke tengah, dalam hitungan ketiga oleh fasilitator harus kembali namun tidak ditempat yang tadi). Peserta yang tidak dapat tempat ke tengah jadi penanya berikutnya.

2. Membentuk Tim
Game ini ditujukan untuk membentuk tim2 dalam outbond, sebaiknya jumlah tim lebih dari 2 dan dalam satu tim beranggotakan 6 – 8 orang. Salah satu cara membentuk tim, dimana fasilitator sudah menyediakan kertas sebanyak jumlah anggota, kertas itu bisa dituliskan nama binatang sebanyak jumlah tim yang kan dibentuk, masing2 anggota diminta bersuara seperti binatang tersebut untuk menemukan temannya. Game ini bisa dimodifikasi dengan berbagai alternatif lainnya.

3. Dragon Ball
Game mencari kelereng dalam lumpur, peserta sebagai tim disuruh untuk mencari beberapa kelereng dalam jumlah tertentu yang sudah dilempar.

4. Botol Bocor
Peserta disuruh untuk mengisi air di botol yang bocor dengan berbagai titik lobang dengan menggunakan anggota tubuh, sehingga mereka berusaha untuk menutupi lobang itu secara tim.

5. Jaring Bola
Peserta diminta bekerja sama dalam tim untuk menjaring bola dalam air dengan menggunakan jaring dari tali rafia yang memiliki kelonggaran bervariasi.

6. Gembala Sapi
Peserta ditutup matanya kecuali satu sebagai gembala, si gembala memberikan kode tepukan yang telah disepakati bersama untuk melewati rintangan yang telah disediakan.

7. Menebak Angka
Peserta diminta menebak secara berurutan 10 angka yg diperagakan oleh 1 orang anggota timnya.

8. Membuat Bangunan
Peserta secara berkelompok diminta membuat sebuah bangunan dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekelilingya dalam jangka waktu 15 menit dan setelah selesai peserta diminta mempresentasikan apa yang sudah dibuatnya.

9. Amoeba Race
Semua peserta/tim bergabung menjadi satu, membentuk lingkaran besar, kemudian di dalam lingkaran besar ada lingkaran kecil, kemudian didalam lingkaran kecil tadi ada lingkaran lagi yg menyerupai amoeba. Setelah itu diminta berjalan tanpa merusak bentuk hingga batas tertentu kemudian diminta membelah menjadi dua seperti amoeba yang membelah diri dan setelah membelah jadi dua diminta adu cepat mencapai garis finish.Game ini ada baiknya dicoba dulu oleh fasilitator dan asistennya, sehingga yang fasilitator dan asisten dapat mengerti teknik membawakan game ini. Setiap akhir sebuah game, para peserta dapat ditanya pendapatnya tentang pelajaran yang bisa diambil dari game yang baru saja diikuti.

Nih ada beberapa game lagi :

1. Mumi Hidup
Tiap tim peserta mendapat 2 kertas tissu gulung. Lalu sebagai tim, mereka membalut tubuh salah 1 anggotanya, tim yang paling cepat selesai dan hasilnya paling bagus lah yang menang. Kalo bisa kertas gulungnya yg mudah terputus, sehingga gamenya jadi lebih seru.

2. Balon Racing
Tiap tim mendapat 1 balon dan tugas mereka berlomba membawa balon melewati track/jalur yang telah disediakan, tim yg paling cepat akan menang. Balon hanya boleh ditiup/dihembus saja dengan mulut dan tidak boleh menggunakan anggota badan lainnya.

3. Ular Buta
Anggota tim berbaris sambil memegang pundak temannya yang didepan. Semuanya ditutup matanya, kecuali yang paling belakang. Tim kemudian diminta berjalan sesuai arahan dari anggota yg tidak ditutup matanya tersebut. Tim dapat diminta untuk mencari/ menuju suatu tempat, yg paling cepatyg menang.

4. Kompak Berdiri
Minta para anggota tim untuk duduk saling membelakangi dengan kaki berselonjor. Lalu minta mereka saling mengadu punggung untuk dapat berdiri secara serempak. Pemenang adalah tim yang berhasil berdiri dengan cepat dan kompak.

5. Pesan Berantai
Fasilitator harus terlebih dahulu menyiapkan kata2 nya. Misalnya masing2 tim terdiri dari 7 orang. Fasilitator membisikkan pada orang 1 dari tim itu 7 kata.HormatBersilaNangisMembacaMenunjuk ke langitDudukMengepalkan tanganOrang pertama melakukan hormat, lalu membisikkan 6 kata lagi pada orang kedua.Orang kedua bersila, lalu membisikkan 5 kata lagi pada orang ketiga, dan begitu seterusnya. Tim yang menang adalah tim yang melakukan instruksi secara benar dan cepat. Ini dapat dimainkan berkali2 dengan mengubah2 variasi instruksinya.

6. Kesan Pertama
Minta masing2 peserta menuliskan namanya di kertas HVS secara menurun, misalnya :ANTOLalu tempelkan kertas nama mereka itu di punggung mereka. Minta teman mereka menulis kepanjangan dari masing2 huruf tersebut. Misalnya peserta 1 menulis kepanjangan
huruf A traktif
Peserta 2 menulis kepanjangan
huruf N arsis
Dan begitu seterusnya
Sehingga di kertas di punggung ANTO sudah lengkap isinya, misalnya :
A traktif
N arsis
T inggi
O ke
Peserta diminta memberi tanggapan atas apa yang ditulis oleh teman2 nya itu, dan boleh saling tanya jawab. Contoh, ANTO boleh tanya apa sebabnya saya tulis Atraktif. Ini game yang lumayan asyik dan membuat munculnya kreatifitas peserta dalam kosa kata.

7. Melanjutkan Gambar
Masing2 peserta dibagikan kertas HVS yang sudah digambari dengan bulatan/segiempat/segitiga/dll, peserta diminta melanjutkan gambar yang ada dan setelah selesai diminta menjelaskan sebab dia menggambar hal itu.

8. Merangkai Kata
Buat kartu sebanyak 5 kali jumlah peserta dan dimasing2 kartu itu ditulis kata (misalnya : merah, awan, sangkar, monyet, dll). Kartu2 itu kemudian diaduk dan dibagikan 5 pada masing2 peserta, misalnya ada peserta yang dapat kartu yang bertuliskan :
Anak
Hijau
Menangis
Kursi
Pantai
Peserta itu diminta membuat cerita singkat dengan memakai kata2 tersebut.

(Game ini diambil dari berbagai sumber)

Kebudayaan & Pendidikan Di Indonesia

Suatu Kajian Sejarah, Sosiologi, & Filsafat

A. Latar Belakang MasalahManusia tidak dapat lepas dari lingkungan sekitarnya. Sejak lahir manusia mengalami ketergantungan terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia mempunyai keinginan untuk senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Sifat seperti ini tidak hanya timbul sebagai warisan sosial, tetapi juga muncul disebabkan atas warisan biologis dan nalurinya untuk mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk berakal kemudian mengembangkan berbagai cara untuk mempertahankan serta meningkatkan eksistensi dirinya melalui penetapan suatu pola perilaku dan pembuatan karya-karya kebendaan.

Suatu kebudayaan haruslah dihasilkan oleh suatu masyarakat, dan tidak ada satupun masyarakat di dunia ini yang tidak memiliki kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang lepas dari masyarakat dan tidak ada masyarakat yang lepas dari kebudayaan. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir, melainkan sesuatu yang merupakan hasil belajar dari masyarakat disekeliling. Kebudayaan merupakan suatu adaptasi non-biologis manusia terhadap lingkungan dimana manusia itu berada.

Perubahan akan selalu terjadi dari masa ke masa. Perubahan ini terjadi terus menerus tanpa dapat dihindari. Pada masa sekarang ini nampak jelas sekali bahwa angin perubahan bertiup demikian kencangnya dan angin perubahan itu tentu saja membawa sesuatu yang baru. Masa modern sekarang ini tidak ada yang boleh berpangku tangan dan duduk diam menunggu karena segala sesuatu berkembang dengan pesatnya. Pada zaman ini segala batas-batas geografis menjadi tidak berarti lagi, karena zaman ini adalah zaman globalisasi segala sesuatu sangat mudah sekali diketahui. Manusia dapat mengetahui banyak hal yang terjadi di berbagai belahan dunia tanpa perlu melangkahkan kakinya keluar rumah. Ada suatu ungkapan bahwa : “Satu – satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri”. Manusia sebagai subjek dan sekaligus objek dari perubahan itu tentu harus menyikapi perubahan itu dengan bijak. Manusia dalam hidup memang harus berubah, tetapi jangan ditenggelamkan oleh perubahan.

Salah satu ciri pokok dari kebudayaan adalah dinamis (berubah-ubah). Kedinamisan kebudayaan ini disebabkan oleh kedinamisan yang ada pada masyarakat tempat kebudayaan itu berada. Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman.

Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Segi dimensi globalisasi budaya, memunculkan beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi berbagai budaya yang datang dari luar. Local genius yang pada zaman dahulu sangat dibanggakan sebagai filterisasi kebudayaan terhadap kebudayaan asing ternyata pada zaman sekarang menjadi kehilangan eksistensinya.

Pendidikan dapat dijadikan sebagai media untuk merubah kebudayaan, baik dalam artian merubahnya menjadi lebih “baik” atau merubahnya menjadi lebih “buruk”. Permasalahannya kini adalah pada pertanyaan “Bagaimanakah keadaan pendidikan di Indonesia ?”. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan, bahkan pada beberapa bangsa (dalam cakupan yang luas) atau keluarga (dalam cakupan yang kecil), pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, terjadi pengurangan kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan.

Seharusnya di Indonesia hal demikian juga terjadi. Sebab bila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah lebih 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Pada sekolah dasar inilah anak diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.

Pada tataran formal Indonesia telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikannya, semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi, karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.

Pelaksanaan wajib belajar negeri adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Kenyataannya di lapangan adalah pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah. Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Banyak anak akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang lain. Kebudayaan sebagai identitas bangsa ikut hilang seiring hilangnya generasi muda. Generasi muda tidak mendapat pendidikan yang layak sehingga terjadi “kebuntuan” dalam proses pewarisan kebudayaan.

B. Pembahasan Pendidikan & Kebudayaan

1. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif sejarah

Sebagai bangsa jajahan sejak tiga-empat abad terakhir, budaya Indonesia adalah budaya bawahan yang menganggap budaya bangsa yang menjadi tuan penjajah sebagai cermin keunggulan. Hal itu menumbuhkan mentalitas bangsa jajahan, yang selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan kaki penguasanya. Pada masyarakat demikian, orang pribumi dianggap sebagai keset sepatu tuan penjajah. Sebagai penjajah, Belanda tidak langsung memeras bangsa pribumi. Belanda menggunakan para pemimpin tradisional pribumi sebagai alatnya. Para pemimpin tradisional pribumi, yang secara turun-temurun selalu menikmati kedudukan sebagai elite penguasa priayi yang selalu “ongkang-ongkang kaki” menikmati hasil kerja keras rakyat petani dan nelayan, menerima peran yang diberikan tuan penjajah dengan suka hati. Para pemimpin tradisional mendapat gaji dan persentase keuntungan dari harga hasil bumi yang dipaksa ditanam petani dan harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Sebagai produsen, petani kita tak berdaya menghadapi pembeli karena yang dihadapi adalah penguasanya sendiri. Sebagai rakyat kerajaan yang selalu patuh kepada raja, para petani menganggap jangankan hasil kerjanya, nyawa dan keluarganya pun milik sang raja.

Mentalitas elite penguasa pribumi itulah yang menyebabkan rakyat kita sengsara dalam kemiskinan luar biasa meski bekerja amat keras, sedangkan Belanda menangguk keuntungan ratusan juta gulden tiap tahun untuk kemakmuran negaranya yang jauh di benua utara. Mentalitas calo, broker, yang ingin hidup senang tanpa mengeluarkan keringat terpelihara dengan baik, bahkan sampai saat ini. Untuk memperkuat pengaruhnya terhadap rakyat petani yang diperasnya, elite penguasa pribumi mengangkat tukang-tukang pukul sebagai kaki tangannya. Para petani yang tidak patuh atau memperlihatkan gejala akan melawan dihadapi dengan kasar dan kejam oleh para tukang pukul itu. Bila para tukang pukul tidak mampu lagi, serdadu marsose dikerahkan. Itulah yang terjadi di Banten pada tahun 1888, terjadi di Jatitujuh dan daerah lain di Cirebon pada sekitar 1815, di Cimareme, Garut, pada tahun 1918, dan lain-lain.

Pemberontakan petani di Jawa, yang kerap terjadi pada abad ke-19 dan ke-20, mempunyai pola yang sama, yaitu para petani merasa tidak puas dengan ketentuan yang dikenakan terhadap mereka, mereka mengajukan usul, lalu protes, dan karena tidak digubris, mereka melawan. Saat memberontak, mereka dihadapi tentara profesional penjajah yang mempunyai senjata jauh lebih canggih. Pemberontakan seperti itu selalu berakhir dengan ditindasnya petani dan bukan hanya yang memberontak, tetapi juga petani yang dianggap bersimpati kepada pemberontak atau mempunyai hubungan darah dengan mereka.

Feodalisme di Eropa dikuasai kaum feodal, yaitu mereka yang memiliki tanah yang dikerjakan para petani. Para petani di wilayah tertentu, misalnya di Rusia, dianggap sebagai hamba sahaya yang bekerja untuk dan semua hasil pekerjaannya menjadi hak majikan. Hal ini lain dengan kaum feodal di Jawa, hidup mereka digaji Pemerintah Hindia Belanda, ditambah pendapatan dari persentase hasil tanaman rakyat yang dibeli pemerintah dengan harga rendah sekali. Artinya, mereka bukan orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam komunitasnya karena mereka hanya pegawai dari pemerintah yang mewakili kepentingan bangsa asing. Karena itu, mentalitas mereka adalah mentalitas calo, broker. Nilai-nilai kesatriaan yang membela kebenaran dan melindungi rakyat kecil dan sering dipuji-puji sebagai pegangan para priayi hanya ada dalam teks. Nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi yang lebih muda pun dari kebudayaan feodal yang bermentalitas calo.

Status quo yang tertib dipertahankan dengan ajaran yang, misalnya, dirumuskan dalam peribahasa, “Guru, ratu, dan orang tua wajib disembah” yang berasal dari Jawa, tetapi kemudian dipopulerkan melalui sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda. Maksud peribahasa itu ialah setiap orang (rakyat) wajib menghormati guru, ratu, dan orang tua. “Guru” yang tadinya mungkin mempunyai arti pendeta, kiai, empu, dibumikan menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya berdiri di depan kelas mengajar murid. “Ratu” adalah Ratu Kerajaan Belanda yang diwakili pejabat yang menjadi kaum priayi. Jelas peribahasa itu hendak mempertahankan ketenteraman masyarakat melalui lembaga “guru” (yang memberi bimbingan ilmu) dan “ratu” (yang mengatur pemerintahan), sedangkan “orang tua” menjadi hal paling akhir. Nilai-nilai yang ditanamkan dan diwariskan oleh orang-orang tua itu adalah nilai-nilai yang cocok dengan ajaran feodal yang menunjang kepentingan dan kelestarian penjajahan. Ajaran itu disebarkan secara lebih intensif melalui sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.

Sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda ada beberapa macam :
a.Sekolah untuk orang Belanda (Eropa) atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, seperti ELS, HIS, MULO, AMS, dan HBS. Di sekolah ini, sejak dini para siswa diperkenalkan dengan sumber budaya Belanda (Eropa), yaitu budaya Yunani dan di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) mereka belajar bahasa Latin, sedangkan sebelumnya mereka sudah diperkenalkan dengan mitologi dan drama-drama Yunani. Mereka juga diharuskan membaca buku-buku karya sastra klasik dan modern, bukan saja dalam bahasa Belanda, tetapi juga dalam bahasa modern Eropa lain, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Dengan demikian, para siswa mengenal betul sumber budaya Eropa dan kekayaan rohani budaya Eropa modern ,seperti tampak dalam karya-karya tulisnya (tidak hanya karya sastra). Dengan demikian, tamatan sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) sudah menguasai dengan baik sumber-sumber budaya Barat.
b.Sekolah untuk orang asing Timur, seperti Tionghoa, India, dan Arab, seperti HCS (Holands Chineesche School) yang selain menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar juga mengajarkan bahasa China secara intensif. Para siswa pun mempelajari sumber budayanya, yaitu sumber budaya China. Mereka belajar bahasa China dan membaca karya-karyanya dalam bahasa itu sehingga mereka mengenal dengan baik karya-karya budaya klasik China.
c.Sekolah untuk orang pribumi, seperti sekolah desa tiga tahun, Sekolah Angka II (lima kemudian enam tahun), sekolah sambungan (schakel school), sekolah guru (normaal school) yang menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah atau bahasa Melayu. Sekolah-sekolah pribumi ini didirikan Pemerintah Hindia Belanda terutama untuk mencukupi kebutuhannya akan tenaga-tenaga administrasi murahan dalam rangka eksploitasi kolonialnya. Karena itu, pelajaran yang diajarkan di sini amat sederhana, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Dalam kurikulumnya, tak ada pelajaran tentang kekayaan budaya yang menjadi sumber hidup dan masyarakatnya. Dengan demikian, para siswa yang belajar di sekolah-sekolah pribumi tidak dianggap perlu mengenal dan mengetahui sumber budaya warisan leluhurnya sendiri.

Saat Indonesia merdeka, yang dilanjutkan Pemerintah Indonesia adalah jenis sekolah untuk kaum pribumi, bukan model sekolah untuk orang Belanda atau Eropa. Mungkin karena semangat zaman yang serba anti penjajahan barat, kebudayaan barat dengan serta-merta dikutuk dan diharamkan orang. Seharusnya memang bukan ELS, HIS, MULO, AMS, atau HBS yang harus dilanjutkan, tetapi model sekolah itu telah terbukti amat efisien dan efektif menjadi wadah pewarisan budaya yang menjadi sumbernya. Modelnya sama, tetapi isinya harus disesuaikan dengan sumber budaya Indonesia.

Pemerintah Indonesia melanjutkan model sekolah untuk pribumi, yang dalam kurikulumnya ditambah sejarah nasional, ilmu bumi nasional, dan pelajaran berbagai ilmu yang dianggap perlu, tetapi tidak ada pelajaran yang menyebabkan si siswa mengenal sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap perlu, anak didik yang akan menjadi pewaris negara dan Bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber budayanya. Akibatnya, anak-anak Jawa terputus dengan sumber budaya Jawa, anak-anak Sunda terputus dengan sumber budaya Sunda, anak-anak Bugis terputus dengan sumber budaya Bugis, anak-anak Aceh terputus dengan sumber budaya Aceh, dan seterusnya. Memang ada pelajaran tentang Pancasila yang dianggap hasil galian dari bumi sendiri sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi isinya lebih merupakan indoktrinasi dan hafalan.

Kini setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka, Indonesia tiba-tiba terkejut melihat anak-anak bangsa tidak mengenal kekayaan budaya nenek moyangnya. Padahal Indonesia selalu membanggakan diri dan menggembar-gemborkan kekayaan ragam budaya tradisi kita. Kurikulum di Indonesia memasukkan segala macam pelajaran untuk ditelan oleh anak didik secara berlebihan, tetapi mengenai sumber budayanya amat minim. Baru beberapa tahun terakhir ada pelajaran muatan lokal yang biasanya digunakan untuk memperkenalkan kesenian dan bahasa daerah setempat kepada anak didik, tetapi kedudukannya dalam kurikulum tidak termasuk penting, bahkan Bahasa Inggris dianggap jauh lebih penting. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang berbudaya negeri sendiri.

2. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif sosiologi

Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Pada dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Adanya suatu keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.

Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.

Terdapat berbagai saluran mobilitas sosial yang dapat ditempuh, jika seseorang ingin melakukan mobilitas sosial vertikal ke atas. Saluran-saluran itu adalah :
a.Angkatan bersenjata.
Angkatan bersenjata merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Angkatan bersenjata merupakan organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas vertikal ke atas melalui tahapan yang disebut kenaikan pangkat. Misalnya, seorang prajurit yang berjasa pada negara karena menyelamatkan negara dari pemberontakan, ia akan mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Dia mungkin dapat diberikan pangkat/kedudukan yang lebih tinggi, walaupun berasal dari golongan masyarakat rendah.
b.Lembaga-lembaga keagamaan.
Lembaga-lembaga keagamaan dapat mengangkat status sosial seseorang, misalnya yang berjasa dalam perkembangan Agama seperti ustad, pendeta, biksu dan lain lain.
c.Lembaga pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya merupakan saluran yang konkret dari mobilitas vertikal ke atas, bahkan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Contoh: Seorang anak dari keluarga miskin mengenyam sekolah sampai jenjang yang tinggi. Setelah lulus ia memiliki pengetahuan dagang dan menggunakan pengetahuannya itu untuk berusaha, sehingga ia berhasil menjadi pedagang yang kaya, yang secara otomatis telah meningkatkan status sosialnya.
d.Organisasi politik.
Seperti angkatan bersenjata, organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, sehingga status sosialnya meningkat.
e.Organisasi ekonomi.
Organisasi ekonomi (seperti perusahaan, koperasi, BUMN dan lain-lain) dapat meningkatkan tingkat pendapatan seseorang. Semakin besar prestasinya, maka semakin besar jabatannya. Karena jabatannya tinggi akibatnya pendapatannya bertambah. Karena pendapatannya bertambah akibatnya kekayaannya bertambah. Dan karena kekayaannya bertambah akibatnya status sosialnya di masyarakat meningkat.
f.Organisasi keahlian
Seperti di wikipedia ini, orang yang rajin menulis dan menyumbangkan pengetahuan/keahliannya kepada kelompok pasti statusnya akan dianggap lebih tinggi daripada pengguna biasa.
g.Perkawinan
Sebuah perkawinan dapat menaikkan status seseorang. Seorang yang menikah dengan orang yang memiliki status terpandang akan dihormati karena pengaruh pasangannya.
Pendidikan dianggap merupakan salah satu media mobilitas sosial yang cukup potensial, walaupun pada kenyataannya hal ini juga sulit dilakukan di Indonesia.

Sistem sekolah seharusnya mampu memobilisasi masyarakat secara vertikal. Artinya, masyarakat memperoleh nilai tambah dari pendidikan persekolahan yang diikutinya. Bahkan bukan sekadar nilai tambah, tetapi bisa memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisinya sebelum mengikuti persekolahan. Pada kenyataannya masyarakat dari kelompok yang kurang beruntung (miskin secara ekonomi) sulit untuk bergerak vertikal melalui sistem pendidikan (sekolah).

Sistem pendidikan (sekolah) seharusnya dapat memobilisasi masyarakat miskin menjadi lebih baik. Meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membangun lingkungan pendidikan dengan kualitas yang sama bagi semua rakyat untuk membangun bangsa. Hasil dari sistem persekolahan seharusnya mampu memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan. Institusi sekolah seharusnya dapat berperan untuk melestarikan nilai yang berkembang dan membudaya dalam masyarakat. Nilai ini tidak hanya kebudayaan ilmu pengetahuan, tetapi juga bidang sosial, budaya, dan ekonomi.

3. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif filsafat

Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data, dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita.

Filsafat akan membuka pandangan orang tentang fisik saat suatu pembangunan hanya mementingkan kerohanian saja. Kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Kalau berbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada anggotanya, filsafat dapat membantu dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas berbagai otoritas untuk mewajibkan sesuatu.

Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Orang yang mau mengekang kebebasan atas nama Tuhan yang Maha Esa, filsafat akan menarik perhatian pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain zaman itu, yaitu Aristoteles.

Berpikir filosofis, sesungguhnya adalah berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat, tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, “mempunyai filsafat hidup” diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat hidup bahwa “tujuan menghalalkan cara”.

Filsafat mencoba mengembalikan hakekat pendidikan sebagai suatu hal yang khas milik manusia. Pendidikan merupakan suatu hal yang khas, karena dibuat oleh manusia, dilakukan manusia, untuk manusia, dalam rangka memanusiakan manusia. Pendidikan adalah ciri khas manusia. Pendidikan membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Hewan dapat diajar, namun tidak dapat dididik. Pengajaran hanya menyangkut masalah pengetahuan dan ketrampilan saja. Pendidikan mengandung arti lebih kompeks dibanding pengajaran, karena tidak saja menyangkut masalah pengetahuan dan ketrampilan saja, tetapi juga menyangkut masalah sikap/perilaku.

Filsafat juga mencoba mengembalikan hakekat kebudayaan sebagai suatu hal khas yang juga hanya dimiliki oleh manusia, karena hanya manusialah yang berbudaya. Budaya berasal dari kata “budhi” yang berarti akal dan kata “dhaya” yang berarti kemampuan. Aristoteles memandang manusia adalah “animal rationale” Karena, menurutnya, ada tahap perkembanganyang dimulai dari benda mati lalu tumbuhan lalu binatang lalu manusia.

Menurut Aristoteles :
a.Tumbuhan = benda mati + hidup, tumbuhan memiliki jiwa hidup.
b.Binatang = benda mati + hidup + perasaan, binatang memiliki jiwa perasaan.
c.Manusia = benda mati + hidup + akal, manusia memiliki jiwa rasional.
Jadi dapat disimpulkan dari pendapat Aristolteles tersebut bahwa kebudayaan adalah hanya dimiliki oleh manusia.

C. Penutup

Pada saat pendidikan dan kebudayan dikaji berdasarkan sudut pandang (perspektif) sejarah maka yang ditelaah adalah tentang asal mula pendidikan dan kebudayan itu. Pada saat pendidikan dikaji berdasarkan sudut pandang (perspektif) sosiologi maka yang ditelaah adalah tentang tujuan pendidikan dan kebudayan itu. Pembahasan pendidikan dan kebudayan dari perspektif filsafat sebenarnya lebih untuk membuat suatu refleksi yang mendalam tentang asal mula dan tujuan dari keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan di dalam masyarakat. Masyarakat adalah wadah tempat pendidikan dan kebudayaan itu berlangsung. Baik pendidikan maupun kebudayaan, keduanya sama-sama merupakan hal khas yang hanya dimiliki oleh manusia, karena itu keduanya harus mampu memanusiakan manusia.

Teori Karir Holland

John Holland, Suatu Analisa Tentang Karir

 
A . Pendahuluan

Teori original Holland mengalami modifikasi sebagai hasil dari penelitian ulang, hal ini terbatas pada lingkungan kerja pada masyarakat Amerika (Osipow, 1983 : 83). Pada kata pengantar dalam karya tulisnya yang terakhir yaitu “Making Vocational Choices : A Theory of Vocational Personalities and Work Environments” (1985), John Holland mengatakan bahwa buku itu merupakan perumusan teorinya yang kelima sejak karya tulisnya yang pertama pada tahun 1959 (Winkel & Hastuti, 2005 : 634). Teori Holland menge­mukakan enam lingkungan okupasional dan enam tipe kepribadian. Pada tahun 1966, Holland berpendapat bahwa ling­kungan-lingkungan okupasional itu adalah Realistik, Intelektual, Artistik , Sosial, Pengusaha, dan Konvensional, demikian juga tipe kepribadian diberi nama yang sama (Manrihu, 1992 : 71). Tingkatan orientasi kepribadian individu menentukan lingkungan yang dipilihnya, semakin jelas tingkatannya, maka makin efektif pencarian lingkungan yang sesuai (Manrihu, 1992 : 71). Pengetahuan individu tentang diri dan lingkungannya diperlukan untuk menetapkan pilihan yang sesuai. Teori Holland direvisi pada tahun 1973, tipe-tipe kepribadian dan lingkungan okupasional tersebut adalah Realistik, Investigatif, Artistik, Sosial, Pengusaha, dan Konvensional (Manrihu, 1992 : 71). Holland mengakui bahwa pandangannya berakar dalam psikologi diferensial, terutama penelitian dan pengukuran terhadap minat, dan dalam tradisi psikologi kepribadian yang mempelajari tipe-tipe kepribadian (Winkel & Hastuti, 2005 : 634). Dua sumber pengaruh ini mendorong Holland untuk mengasumsikan bahwa orang yang memiliki minat yang berbeda-beda dan bekerja dalam lingkungan yang berlain-lainan, sebenarnya adalah orang yang berkepribadian lain-lain dan mempunyai sejarah hidup yang berbeda-beda pula (Winkel & Hastuti, 2005 : 634).

B . Konsep Dasar

Kepribadian seseorang menurut John Holland merupakan hasil dari keturunan dan pengaruh lingkungan (Osipow, 1983 : 84). Winkel & Hastuti (2005 ; 634-635) menjelaskan bahwa pandangan Holland mencakup tiga ide dasar, yaitu :
1. Semua orang dapat digolongkan menurut patokan sampai berapa jauh mereka mendekati salah satu di antara enam tipe kepribadian, yaitu : Tipe Realistik (The Realistic Type), Tipe Peneliti/Pengusut (The Investigative Type), Tipe Seniman (The Artistic Type), Tipe Sosial (The Social Type), Tipe Pengusaha (The Enterprising Type), dan Tipe Orang Rutin (Conventional Type). Semakin mirip seseorang dengan salah satu di antara enam tipe itu, makin tampaklah padanya ciri-ciri dan corak perilaku yang khas untuk tipe bersangkutan. Setiap tipe kepribadian adalah suatu tipe teoritis atau tipe ideal, yang merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor internal dan eksternal. Berdasarkan interaksi itu manusia muda belajar lebih menyukai kegiatan/aktivitas tertentu, yang kemudian melahirkan suatu minat kuat yang pada gilirannya menumbuhkan kemampuan dan keterampilan tertentu. Kombinasi dari minat dan kemampuan itu menciptakan suatu disposisi yang bersifat sangat pribadi untuk menafsirkan, bersikap, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara tertentu. Sebagai sebuah contoh : seseorang dengan tipe sosial yang lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan karena itu ia lebih cerderung memasuki lingkungan okupasi yang mengandung unsur pelayanan sosial seperti perawat, guru, pekerja sosial, dan pemuka agama. Membandingkan segala sikap dan cara bertindak seseorang dengan pola sikap dan kebiasaan bertindak yang khusus untuk setiap tipe kepribadian, dapat ditentukan tipe manakah yang cocok dengan orang itu, dalam urutan mana yang paling sesuai, mana yang sesuai dalam urutan kedua dan ketiga, dengan demikian, seseorang dapat dinyatakan paling mendekati tipe sosial, namun masih memiliki juga kemiripan dengan tipe pengusaha dan tipe seniman. Hal ini dapat dilanjutkan terus dengan mengidentifikasikan kemiripan dengan tipe-tipe yang lain dalam urutan keempat, kelima, dan keenam. Profil total dari keseluruhan kemiripan dalam urutan pertama ke bawah, menampakkan pola kepribadian seseorang (the individual’s personality pattern). Usaha untuk menentukan profil total itu dapat digunakan berbagai metode seperti testing psikologis dan analisis sejarah hidup sehubungan dengan aspirasi okupasi.
2. Berbagai lingkungan yang di dalamnya orang hidup dan bekerja, dapat digolongkan menurut patokan sampai berapa jauh suatu lingkungan tertentu mendekati salah satu model lingkungan (a model environment), yaitu : Lingkungan Realistik (The Realistic Environment), Lingkungan Penelitian/Pengusutan (The Investigative Environment), Lingkungan Kesenian (The Artistic Environment), Lingkungan Pengusaha (The Enterprising Environment), Lingkungan Pelayanan Sosial (The Social Environment), Lingkungan Bersuasana Kegiatan Rutin (The Conventional Environment). Semakin mirip lingkungan tertentu dengan salah satu di antara enam model lingkungan, makin tampaklah di dalamnya corak dan suasana kehidupan yang khas untuk lingkungan bersangkutan. Masing-masing model lingkungan hidup, termasuk lingkungan okupasi, didominasi oleh : orang yang bertipe kepribadian tertentu. Sebagai sebuah contoh : lingkungan kesenian didominasi oleh orang yang bertipe orang seniman, dalam arti kebanyakan orang yang hidup dan bekerja di lingkungan itu termasuk tipe kepribadian ini. Masing-masing model lingkungan hidup memberikan kesempatan tertentu dan menimbulkan tantangan tertentu pula. Mengingat keenam tipe kepribadian menunjukkan pola minat dan kompetensi tertentu, maka bilamana banyak orang dari tipe kepribadian tertentu berkumpul untuk hidup dan bekerja sama, mereka menciptakan suasana yang mencerminkan tipe kepribadian mereka dan menarik orang lain vang bertipe sama untuk menggabungkan diri dengan mereka. Salah satu metode yang digunakan untuk meneliti lingkungan tertentu ialah menghitung jumlah orang dari berbagai tipe kepribadian yang hidup dan bekerja di situ. Hasil hitungan ini ditransformasi menjadi presentase. Presentase tinggi dari tipe kepribadian tertentu menciptakan suasana yang khas.
3. Perpaduan antara tipe kepribadian tertentu dan model lingkungan yang sesuai menghasilkan keselarasan dan kecocokan okupasional (occupational homogeneity), sehingga seseorang dapat mengembangkan diri dalam lingkungan okupasi tertentu dan merasa puas. Perpaduan dan pencocokan antara tiap tipe kepribadian dan suatu model lingkungan memungkinkan meramalkan pilihan okupasi, keberhasilan, stabilitas seseorang dalam okupasi yang dipangku. Sebagai sebuah contoh : seseorang diketahui paling mendekati tipe sosial, akan lebih cenderung memasuki okupasi dalam lingkungan pelayanan sosial karena okupasi itu diketahui paling sesuai dengan kepribadiannya sendiri dan paling memuaskan baginya, sedangkan orang lain yang diketahui paling mendekati tipe orang rutin, akan lebih cenderung memangku okupasi dalam lingkungan yang bersuasana kegiatan rutin, seperti pegawai di kantor, resepsionis, akuntan, dan pegawai perpustakaan. Sebaliknyalah, orang yang memasuki lingkungan okupasi yang jauh dari tipe kepribadian yang paling khas baginya akan mengalami konflik dan tidak akan merasa puas, sehingga cenderung untuk meninggalkan lingkungan okupasi itu dan mencari lingkungan lain yang lebih cocok baginya.

Manrihu (1992 : 70) berpendapat bahwa ada empat asumsi yang merupakan jantung teori Holland, yaitu :
1. Kebanyakan orang dapat dikategorikan sebagai salah satu dari enam tipe : Realistik, Investigatif, Artistik, Sosial, Giat (suka beru­saha), dan Konvensional.
2. Ada enam jenis lingkungan : Realistik, Investigatif, Artistik, Sosial, Giat (suka berusaha), dan Konvensional.
3. Orang menyelidiki lingkungan-lingkungan yang akan membiar­kan atau memungkinkannya melatih keterampilan- keterampilan dan kemampuan-kemampuannya, mengekspresikan sikap-sikap dan nilai-nilainya, dan menerima masalah-masalah serta peranan-­peranan yang sesuai.
4. Perilaku seseorang ditentukan oleh interaksi antara kepribadian­nya dan ciri-ciri lingkungannya.

Holland berpegang pada keyakinan, bahwa suatu minat yang menyangkut pekerjaan dan okupasi adalah hasil perpaduan dari sejarah hidup seseorang dan keseluruhan kepribadiannya, sehingga minat tertentu akhirnya menjadi suatu ciri kepribadian yang berupa ekspresi diri dalam bidang pekerjaan, bidang studi akademik, hobi inti, berbagai kegiatan rekreatif dan banyak kesukaan yang lain (Winkel & Hastuti, 2005 : 636-637). Pada halaman tiga buku “Making Vocational Choices : A Theory of Vocational Personalities and Work Environments” , Holland menuliskan : “In short, what we have called vocational interests are an important aspect of personality”, karena itu alat tes yang dikenal dengan nama interest inventory dipandang sebagai tes kepribadian (Winkel & Hastuti, 2005 : 637). Salah satu indikasi dari minat ialah kesukaan seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, sedangkan ketidaksukaan menjadi kontraindikasi. Holland sendiri mengembangkan beberapa tes yang dapat membantu orang untuk mengenal diri sendiri, seperti : The Vocational Preference Inventory di tahun 1977 dan Self-directed Search di tahun 1979 (Winkel & Hastuti, 2005 : 637).Holland juga berefleksi tentang jaringan hubungan antara tipe-tipe kepribadian dan antara model-model lingkungan, yang dituangkan dalam bagan yang disebut Hexagonal Model dan model ini menggambarkan aneka jarak psikologis antara tipe-tipe kepribadian dan model-model lingkungan, makin pendek jarak (menurut garis-garis dalam model) antara dua tipe kepribadian maka makin dekat kedua tipe itu dalam makna psikologisnya dan makin panjang jarak (menurut garis-garis dalam model) maka makin jauh kedua tipe itu dalam makna psikologisnya (Winkel & Hastuti, 2005 : 637).

Menurut Holland suatu tipe memiliki korelasi dengan tipe-tipe lainnya, misalnya tipe realistik dekat dengan tipe investigatif di satu sisi dan dengan tipe konvensional di sisi lainnya (korelasinya 0,46 dan 0,36), sedangkan dengan tipe sosial korelasinya 0,21 (Osipow, 1983 : 83). Tipe artistik dekat hubungannya dengan tipe investigatif dan sosial (korelasinya 0,34 dan 0,42), tetapi jauh sekali dari tipe konvensional sehingga korelasinya 0,11 (Osipow, 1983 : 83). Keadaan tersebut tidak dapat disesuaikan secara tepat pada hexagon jika dimasukkan dalam ukuran skala, hal ini lebih merupakan sekedar suatu percobaan dari Holland untuk mempertalikan antara yang satu dengan yang lain (Osipow, 1983 : 90).Perkembangan tipe-tipe kepribadian adalah hasil dari interaksi-­interaksi faktor-faktor bawaan dan lingkungan dan interaksi-interaksi ini membawa kepada preferensi-preferensi untuk jenis-jenis aktivitas-aktivitas khusus, yang pada gilirannya mengarahkan individu kepada tipe-tipe perilaku-perilaku tertentu yang rangkumannya adalah sebagai berikut (Manrihu, 1992 : 71-73) :
1. Tipe Realistik yang preferensinya pada aktivitas-aktivitas yang memerlukan manipulasi eksplisit, teratur, atau sistematik terhadap obyek-obyek, alat-alat, mesin-mesin, dan binatang-binatang. Tidak menyukai aktivitas-aktivitas pemberian bantuan atau pendidikan. Preferensi-preferensi membawa kepada pengembangan kompe­tensi-kompetensi dalam bekerja dengan benda-benda, binatang­-binatang, alat-alat dan perlengkapan teknik, dan mengabaikan kompetensi-kompetensi sosial dan pendidikan. Menganggap diri baik dalam kemampuan mekanikal dan atletik dan tidak cakap dalam keterampilan-keterampilan sosial hubungan-hubungan insani. Menilai tinggi benda-benda nyata, seperti : uang dan kekuasa­an. Ciri-ciri khususnya adalah praktikalitas, stabilitas, konformitas. Mungkin lebih menyukai keterampilan-keterampilan dan okupasi­-okupasi teknik.
2. Tipe Investigatif memiliki preferensi untuk aktivitas-aktivitas yang memerlukan penyelidikan observasional, simbolik, sistema­tik, dan kreatif terhadap fenomena fisik, biologis, dan kultural agar dapat memahami dan mengontrol fenomena tersebut, dan tidak menyukai aktivitas-aktivitas persuasif, sosial, dan repetitif. Contoh-contoh dari okupasi-okupasi yang memenuhi kebutuhan-­kebutuhan tipe-tipe investigatif adalah ahli kimia dan ahli fisika.
3. Tipe Artistik lebih menyukai aktivitas-aktivitas yang ambi­guous, bebas, dan tidak tersistematisasi untuk menciptakan produk­-produk artistik, seperti lukisan, drama, karangan. Tidak menyukai aktivitas-aktivitas yang sistematik, teratur, dan rutin. Kompetensi-­kompetensi dalam upaya-upaya artistik dikembangkan dan keterampilan-keterampilan yang rutin, sistematik, klerikal diabaikan. Memandang diri sebagai ekspresif, murni, independen, dan memiliki kemampuan-kemampuan artistik. Beberapa ciri khu­susnya adalah emosional, imaginatif, impulsif, dan murni. Okupasi­-okupasi artistik biasanya adalah lukisan, karangan, akting, dan seni pahat.
4. Tipe Sosial lebih menyukai aktivitas-aktivitas yang melibat­kan orang-orang lain dengan penekanan pada membantu, mengajar, atau menyediakan bantuan. Tidak menyukai aktivitas-aktivitas rutin dan sistematik yang melibatkan obyek-obyek dan materi-­materi. Kompetensi-kompetensi sosial cenderung dikembangkan, dan hal-hal yang bersifat manual & teknik diabaikan. Mengang­gap diri kompeten dalam mcmbantu dan mengajar orang lain serta menilai tinggi aktivitas-attivitas hubungan-hubungan sosial. Beberapa ciri khususnya adalah kerja sama, bersahabat, persuasif, dan bijaksana. Okupasi-okupasi sosial mencakup pekerjaan­-pekerjaan seperti mengajar, konseling, dan pekerjaan kesejahte­raan sosial.
5. Tipe Enterprising lebih menyukai aktivitas-­aktivitas yang melibatkan manipulasi terhadap orang-orang lain untuk perolehan ekonomik atau tujuan-tujuan organisasi. Tidak menyukai aktivitas-aktivitas yang sistematik, abstrak, dan ilmiah. Kompetensi-kompetensi kepemimpinan, persuasif dan yang bersifat supervisi dikembangkan, dan yang ilmiah diabaikan. Me­mandang diri sebagai agresif, populer, percaya diri, dan memiliki kemampuan memimpin. Keberhasilan politik dan ekonomik dinilai tinggi. Ciri-ciri khasnya adalah ambisi, dominasi, optimisme, dan sosiabilitas.
6. Tipe Konvensional lebih menyukai aktivitas-aktivitas yang memerlukan manipulasi data yang eksplisit, teratur, dan sistema­tik guna memberikan kontribusi kepada tujuan-tujuan organisasi. Tidak menyukai aktivitas-aktivitas yang tidak pasti, bebas dan tidak sistematik. Kompetensi-kompetensi dikembangkan dalam bidang-bidang klerikal, komputasional, dan sistem usaha. Akti­vitas-aktivitas artistik dan semacamnya diabaikan. Memandang diri sebagai teratur, mudah menyesuaikan diri, dan memiliki keterampilan-keterampilan klerikal dan numerikal. Beberapa ciri khasnya adalah efisiensi, keteraturan, praktikalitas, dan kontrol diri. Okupasi-okupasi yang sesuai adalah bankir, penaksir harga, ahli pajak, dan pemegang buku.

Holland (Manrihu, 1992 : 77-78) juga menambah tiga asumsi tentang orang-orang dan lingkungan-lingkungan, asumsi-asumsi ini adalah :
1. Konsistensi, pada diri seseorang atau lingkungan, beberapa pasangan tipe lebih dekat hubungannya daripada yang lainnya. Misalnya, tipe-tipe realistik dan investigatif lebih banyak persamaannya dibandingkan dengan tipe-tipe konvensional dan artistik. Konsistensi adalah tingkat hubungan antara tipe-tipe kepribadian atau antara model-model lingkungan. Taraf-taraf konsistensi atau keterhubungan diasumsikan mempengaruhi preferensi vokasional. Misalnya, orang yang paling menyerupai tipe realistik dan paling menyerupai berikutnya dengan tipe investigatif (orang yang realistik-investigatif) seharusnya lebih dapat diramalkan daripada orang yang realistik-sosial.
2. Diferensiasi, beberapa orang atau lingkungan lebih dibatasi secara jelas daripada yang lainnya. Misalnya, seseorang mungkin sangat menyerupai suatu tipe dan menunjukkan sedikit kesamaan dengan tipe- tipe lainnya, atau suatu lingkungan mungkin sebagian besar didomi­nasi oleh suatu tipe tunggal. Sebaliknya, orang yang menyerupai banyak tipe atau suatu lingkungan yang bercirikan kira-kira sama dengan keenam tipe tersebut tidak terdiferensiasi atau kurang terdefinisikan. Taraf di mana seseorang atau suatu lingkungan terdefinisikan dengan baik adalah taraf diferensiasinya.
3. Kongruensi, berbagai tipe memerlukan berbagai lingkungan. Misalnya, tipe-tipe realistik tumbuh dengan subur dalam lingkungan­lingkungan realistik karena lingkungan seperti itu memberikan kesempatan-kesempatan dan menghargai kebutuhan-kebutuhan tipe realistik. Ketidakharmonisan (incongruence) terjadi bila suatu tipe hidup dalam suatu lingkungan yang menyediakan kesempatan-kesempatan dan penghargaan-penghargaan yang asing bagi preferensi-preferensi atau kemampuan-kemampuan orang itu – misalnya, tipe realistik dalam suatu lingkungan sosial.

Pada tahun 1978, Holland juga mengembangkan suatu Sistem Klasifikasi Okupasi (The Classification System) yang menggolongkan 500 okupasi dalam enam kategori okupasi, yaitu : Realistic Occupations, Investigative Occupations, Artistic Occupation, Social Occupations, Entreprising Occupations, dan Conventional Occupations (Winkel & Hastuti, 2005 : 637). Klasifikasi ini terdapat dalam The Occupations Finder yang juga mencantumkan nomor-nomor kode dari Dictionary of Occupational Titles dan tingkat pendidikan sekolah yang umumnya dituntut supaya mampu memegang okupasi tertentu (Winkel & Hastuti, 2005 : 637). Sistem Klasifikasi Okupasi diterapkan dalam The Self-directed Search yang dirancang untuk membantu orang agar lebih mengenal diri dan menemukan bidang okupasi yang dianggap cocok baginya atau paling sedikit untuk dipertimbangkan (Winkel & Hastuti, 2005 : 637).

C . Keunggulan & Kelemahan

Teori Holland oleh banyak pakar psikologi vokasional dinilai sebagai teori yang komprehensif karena meninjau pilihan okupasi sebagai bagian dari keseluruhan pola hidup seseorang dan sebagai teori yang mendapat banyak dukungan dari hasil penelitian sejauh menyangkut model-model lingkungan serta tipe-tipe kepribadian (Winkel & Hastuti, 2005 : 639). Kelemahan dalam teori ini adalah kurang ditinjau proses perkembangan yang melandasi keenam tipe kepribadian dan tidak menunjukan fase-fase tertentu dalam proses perkembangan itu serta akumulasi rentang umur (Winkel & Hastuti, 2005 : 639). Mengenai tahap atau tingkat yang dapat dicapai oleh seseorang dalam bidang okupasi tertentu (occupational level), Holland menunjuk pada taraf inteligensi yang memungkinkan tingkat pendidikan sekolah tertentu, namun dipertanyakan apakah masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dalam hal ini, seperti taraf aspirasi seseorang (Winkel & Hastuti, 2005 : 639).

D . Aplikasi Di Sekolah

Pandangan Holland sangat relevan bagi bimbingan karier dan konseling karier di institusi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan masa awal pendidikan tinggi (Winkel & Hastuti, 2005 : 639). Tekanan yang diberikan pada pemahaman diri sehubungan dengan beberapa kualitas vokasional yang dimiliki seseorang dan pada informasi yang akurat mengenai berbagai lingkungan okupasi, menyadarkan lembaga bim­bingan akan tugasnya untuk membantu orang muda mengenal diri sendiri dan mengenal ciri-ciri lingkungan, kedua hal ini sangat diperlukan sebagai masukan dalam memikirkan pilihan okupasi secara matang (Winkel & Hastuti, 2005 : 639). Alat-alat yang dikembangkan oleh Holland, yaitu The Occupations Finder dan The Self-directed Search, yang menanyakan kegiatan/aktivitas yang disukai, berbagai kompetensi yang dimiliki, bidang-bidang pekerjaan yang diminati, dan evaluasi diri dalam beberapa keterampilan, harus dicocokkan dengan sistem klasifikasi okupasi yang berlandaskan pada teori yang sama, dengan demikian. orang muda dapat menemukan sejumlah alternatif pilihan okupasi untuk dipertimbangkan lebih lanjut (Winkel & Hastuti, 2005 : 639). Cara bekerja ini pada dasarnya menerapkan suatu pendekatan yang mirip dengan pendekatan Trait and Factor, namun maju lebih jauh dari pada teori Trait and Factor tradisional (Winkel & Hastuti, 2005 : 639).

E . Penutup

Pada prinsipnya kebenaran suatu ilmu buatan manusia berada pada tataran relatif. Kebenaran ilmu buatan manusia tidaklah diarahkan pada benar yang sebenar-benarnya, tetapi lebih diarahkan sebagai benar yang bermanfaat. Semakin bermanfaat suatu ilmu bagi kepentingan umat manusia, maka semakin tinggilah nilai kebenarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Manrihu, Muhammad Thayeb . 1992 . Pengantar Bimbingan dan Konseling Karier . Jakarta . Bumi Aksara

Osipow Samuel H . 1983 . Theories of Career Development . New Jersey . Prentice Hall, Inc . Englewood Cliffs

Winkel, W.S & Sri Hastuti . 2005 . Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan . Jakarta: PT. Grasindo 

Epistemologi Suatu Perjalanan Mencari Kebenaran Sejati

Suatu Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu

A . PendahuluanAda tiga hal pokok yang muncul bila manusia berpikir, yaitu : hal tentang ada yang menjadi bahasan ontologi, hal tentang pengetahuan akan kebenaran sejati yang menjadi bahasan epistemologi, dan hal tentang nilai yang menjadi bahasan aksiologi. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri. Secara linguistic kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.

Epistemologi juga disebut sebagai cabang filsafat yang relevansi dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan-pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula, struktur, metode, dan validity pengetahuan. Berdasarkan berbagai defenisi itu dapat diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang meliputi :
a.Filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b.Metode, sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c.Sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.

Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, begitu luasnya tentang epistemologi, maka dalam bahasan ini akan dijelaskan tentang masalah urgensi (pentingnya) epistemologi, metode-metode untuk memperoleh pengetahuan, dan apa yang diungkapkan oleh metode tersebut. Istilah “Epistemologi” dipakai pertama kali oleh J. F. Feriere dari Institute of Metaphysics pada tahun 1854 Masehi, dengan tujuan membedakan antara 2 cabang filsafat yaitu : epistemologi dengan ontologi.

B . Urgensi Epistemologi

Sebenarnya baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap yang dapat diketahui tentang sesuatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan manusia, sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya tidak ada pengetahuan sebab urgensi pengetahuan bagi berbagai pengetahuan yang muncul dalam kehidupan.

C . Metode Untuk Memperoleh Pengetahuan

Kata metode berasal bahasa Yunani yaitu kata “methos” yang terdiri dari unsur kata berarti cara, perjalanan sesudah, dan kata “kovos” berarti cara perjalanan, arah. Metode merupakan kajian atau telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan asas-asas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah. Pertanyaan utama dalam permasalahan epistemologi (pengetahuan) yang dimunculkan dan dibahas adalah mengenai bagaimana cara memperoleh tentang pengatahuan? atau lebih tepatnya bagaimana metode untuk memperoleh pengetahuan?. Menurut kajian epistemologi terdapat beberapa metode untuk memperoleh pengetahuan, diantaranya adalah :

1. Metode Empirisme
Menurut paham empirisme, metode untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada pengalaman yang bersifat empiris, yaitu pengalaman yang bisa dibuktikan tingkat kebenarannya melalui pengamalan indera manusia. Seperti petanyaan-pertanyaan bagaimana orang tahu es membeku? Jawab kaum empiris adalah karena saya melihatnya (secara inderawi/panca indera), maka pengetahuan diperoleh melalui perantaraan indera. Menurut John Locke (Bapak Empirisme Britania) berkata, waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong, dan didalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman indera. Akal merupakan sejenis tempat penampungan, yang secara prinsip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Proses terjadinya pengetahuan menurut penganut empirisme berdasarkan pengalaman akibat dari suatu objek yang merangsang alat inderawi, kemudian menumbuhkan rangsangan saraf yang diteruskan ke otak. Di dalam otak, sumber rangsangan sebagaimana adanya dan dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat inderawi ini. Kesimpulannya adalah metode untuk memperoleh pengetahuan bagi penganut empirisme adalah berdasarkan pengalaman inderawi atau pengalaman yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia.

2. Metode Rasionalisme
Berbeda dengan penganut empirisme, karena rasionalisme memandang bahwa metode untuk memperoleh pengetahuan adalah melalui akal pikiran. Bukan berarti rasionalisme menegasikan nilai pengalaman, melainkan pengalaman dijadikan sejenis perangsang bagi akal pikiran untuk memperoleh suatu pengetahuan. Menurut Rene Descartes (Bapak Rasionalisme), bahwa kebenaran suatu pengetahuan melalui metode deduktif melalui cahaya yang terang dari akal budi. Maka akal budi dipahamkan sebagai :
a.Sejenis perantara khusus, yang dengan perantara itu dapat dikenal kebenaran.
b.Suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran-kebenaran yaitu dengan melakukan penalaran.
Fungsi pengalaman inderawi bagi penganut rasionalisme sebagai bahan pembantu atau sebagai pendorong dalam penyelidikannya suatu memperoleh kebenaran.

3. Metode Fenomenalisme
Immanuel Kant adalah filsuf Jerman abad XX yang melakukan kembali metode untuk memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan yang dilancarkan oleh David Hume terhadap pandangan yang bersifat empiris dan rasionalisme. Menurut Kant, metode untuk memperoleh pengetahuan tidaklah melalui pengalaman melainkan ditumbuhkan dengan pengalaman-pengalaman empiris disamping pemikiran akal rasionalisme. Ada empat macam pengetahuan menurut Kant :
a.Pengetahuan analisis a priori yaitu pengetahuan yang dihasilkan oleh analisa terhadap unsur-unsur pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya pengalaman, atau yang ada sebelum pengalaman.
b.Pengetahuan sintesis a priori, yaitu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan akal terhadap bentuk-bentuk pengalamannya sendiri yang mempersatukan dan penggabungan dua hal yang biasanya terpisah.
c.Pengetahuan analitis a posteriori, yaitu pengetahuan yang terjadi sebagai akibat pengalaman.
d.Pengetahuan sintesis a posteriori yaitu pengetahuan sebagai hasil keadaan yang mempersatukan dua akibat dari pengalaman yang berbeda.
Menurut Kant, syarat dasar bagi ilmu pengetahuan adalah:
a.Bersifat umum dan bersifat perlu mutlak.
b.Memberi pengetahuan yang baru.
Pengetahuan tentang gejala (phenomenon) merupakan pengetahuan yang paling sempurna, karena ia dasarkan pada pengalaman inderawi dan pemikiran akal, jadi Kant mengakui dan memakai empirisme dan rasionalisme dalam metode fenomenologinya untuk memperoleh pengetahuan.

4. Metode Intuisionisme
Metode intuisionisme adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan melalui intuisi tentang kejadian sesuatu secara nisbi atau pengetahuan yang ada perantaraannya. Menurut Henry Bergson, penganut intusionisme, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui suatu pengetahuan secara langsung. Metode intuisionisme adalah metode untuk memperoleh pengetahuan dalam bentuk perbuatan yang pernah dialami oleh manusia. Jadi penganut intuisionisme tidak menegaskan nilai pengalaman inderawi yang bisa menghasilkan pengetahuan darinya. Maka intuisionisme hanya mengatur bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi.

5. Metode Ilmiah
Pada metode ilmiah, untuk memperoleh pengetahuan dilakukan dengan cara menggabungkan pengalaman dan akal pikiran sebagai pendekatan bersama dan dibentuk dengan ilmu. Metode ilmiah diawali dengan pengalaman-pengalaman dan dihubungkan satu sama lain secara sistematis dengan fakta-fakta yang diamati secara inderawi. Untuk memperoleh pengetahuan dengan metode ilmiah dibuktikan hipotesa, yaitu usulan penyelesaian berupa saran dan sebagai konsekuensinya harus dipandang bersifat sementara dan memerlukan verifikasi dalam proses hipotesis ini. Kegiatan akal bergerak keluar dari pengalaman mencari suatu bentuk untuk didalamnya disusun fakta-fakta secara nyata. Untuk memperkuat hipotesa dibutuhkan dua bahan-bahan bukti :
a.Bahan-bahan keterangan yang diketahui harus cocok dengan hipotesa tersebut. b.Hipotesa itu harus meramalkan bahan-bahan yang dapat diamati yang memang demikian keadaannya. Pada metode ilmiah dibutuhkan proses peramalan dengan deduksi. Deduksi pada hakikatnya bersifat rasionalistis dan merupakan suatu faktor penting didalam metode ilmiah.

D . Kesimpulan

Berdasarkan keterangan dari kelima metode tersebut dapat tergambar bahwa masing-masing metode mengklaim dirinyalah yang paling bagus dan berhak diakui sebagai metode epistemologi yang cocok. Hal demikian akan menyebabkan selalu timbul permasalahan epistemologi. Masing-masing metode epistemologi bagus dan cocok menurut kerangka dan pola epistemologi mereka masing-masing. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa masalah epistemologi adalah masalah yang berkaitan dengan eksistensi epistemologi dan hal ini sangat penting dalam mengantarkan manusia berpengetahuan.

DAFTAR RUJUKAN

Abbas Hamami. 1997. Epistemologi Ilmu. Yogyakarta : Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Anoliab, Watloly. 2005. Tanggung Jawab Pengetahuan Mempertimbangkan Epistimologi Secara Kultural . Yogyakarta : Kanisius

Harun Hadiwijono. 1980. Sari SejarahFilsafat Barat 2. Yogyakarta : Kanisius

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat . Terjemahan oleh Soejono Soemargono. 1992. Yogyakarta : Tiara Wacana

Miska, Muhammad Amin. 1983. Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Jakarta : UI Press

Pudjawijatna. 1963. Pembimbing Kearah Alam Filsafat . Jakarta : Pembangunan Djakarta

Sudarsono. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar . Jakarta : Rineka Cipta

Yuyun, S. Suriasumantri. 1989. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer . Jakarta : Pustaka Sinar Harapan